Maret 01, 2010

RPP Tembakau Dikaji Ulang

Berita Utama

02 Maret 2010


JAKARTA- Perjuangan para petani tembakau menolak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) No 36 Tahun 2009 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan, tak sia-sia. RPP yang menuai kontroversi tersebut akan ditinjau ulang.
Kementerian Hukum dan HAM menegaskan, RPP itu ditinjau ulang karena pembahasannya  belum melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan (Ditjen PP) Kemenkumham, Danan, RPP tersebut telah masuk ke Direktorat Harmonisasi Ditjen PP, namun dikembalikan ke Kementerian Kesehatan.
”Draf RPP kami kembalikan ke Kementerian Kesehatan untuk dikaji ulang. Pengembalian tersebut agar dalam pembahasannya melihat seluas-luasnya seluruh stakeholder,” ujarnya di sela-sela menemui Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPD Jawa Tengah yang melakukan aksi di kantor Kemenkumham, Senin (1/3).
Dia berjanji akan melibatkan unsur masyarakat dari APTI dalam pembahasan RPP tersebut.
Dalam aksinya, APTI menolak RPP Pengamanan Produk Tembakau. Sekjen APTI Agus Setiawan menegaskan, APTI khawatir, jika RPP diberlakukan, maka akan menyebabkan hilangnya budaya pertanian tembakau dan pengelolaan tembakau menjadi rokok kretek.
Padahal, rokok kretek merupakan kreasi asli Indonesia.
”Petani tembakau juga akan kehilangan komoditas andalan yang memiliki potensi ekonomi sangat tinggi,” ujar Agus.
Selain itu, RPP itu juga dapat mengancam perdagangan dan industri tembakau asli Indonesia. ”Jutaan petani tembakau dan keluarganya akan terancam kehilangan sumber pendapatan,” tegasnya.
APTI melakukan aksi di tiga tempat terpisah, yakni Gedung DPR, kantor Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Hukum dan HAM.
Dalam rilis yang ditandatangani Ketua DPD APTI Jawa Tengah N Wisnu Brata disebutkan, peserta aksi mencapai 4.000 petani tembakau Jawa Tengah. Mereka berasal dari Temanggung, Wonosobo, Magelang, Klaten, dan Kendal.
Ketua DPR Marzuki Alie juga menyatakan perlunya peninjauan ulang terhadap RPP No 36 Tahun 2009 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan.
Menurutnya, penyusunan suatu peraturan seharusnya mengakomodasi seluruh aspek dan elemen terkait, bukan berpihak hanya pada satu aspek atau elemen saja. ”Aturan itu tidak boleh diskriminatif. Jadi, dalam menyusun RPP juga harus mempertimbangkan aspek dari petani tembakau,” ujar Marzuki saat menerima perwakilan APTI di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Menurutnya, komisi-komisi di DPR yang terkait RPP akan bersinergi dan berkoordinasi dengan menggelar rapat dengar pendapat gabungan untuk memanggil pemerintah.
Ketua APTI Jawa Tengah, Nurtantio Wisnu Brata mengatakan, PP No 19 Tahun 2003 yang mengatur tentang pengamanan rokok bagi kesehatan masih sangat relevan dan komprehensif, baik dilihat dari aspek kesehatan maupun dalam mengakomodasi komoditas tembakau.
”Bagi kami, PP 19/2003 itu sudah sangat relevan, karena sudah mengatur batasan orang merokok dan juga batasan untuk iklan rokok,” katanya.
Dia menjelaskan, penolakan petani tembakau disebabkan RPP tersebut tendensius dan akan membunuh kelangsungan hidup serta pekerjaan para tani dan buruh. ”Pada dasarnya kami setuju dan senang dengan PP tentang pengamanan tembakau. Namun, semangatnya harus berdasarkan PP 19/2003,” tambah Wisnu.
Senada dengan Marzuki, Wisnu juga menyatakan bahwa suatu peraturan seharusnya didasarkan atas banyak aspek. ”Tidak bisa hanya menampung aspirasi dari orang yang antitembakau, sedangkan kami dari orang yang hidup dari tembakau justru dimatikan,”  tegasnya.
Ketua DPRD Temanggung, Bambang Sukarno menambahkan, jika nantinya RPP tersebut terus dibahas dan disahkan, maka akan ada jutaan masyarakat Indonesia yang terkena dampaknya, khususnya para petani dan buruh tembakau.
”Jika RPP disahkan, akan ada 30 juta orang di seluruh Indonesia yang kehilangan lapangan pekerjaan. Pendapatan negara juga akan hilang sekitar Rp 64 triliun per tahun yang didapat dari cukai dan pajak,” katanya. (J13,K32,J22-49,65)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar