Februari 26, 2010
Berawal Obrolan Ringan, Memulai dari yang Kecil-kecil
Berita Utama
27 Februari 2010
Di Balik Pendirian BSF
Sesuatu yang luar biasa tidak harus selalu diawali dengan pemikiran besar atau konsep yang muluk-muluk. Seringkali, justru itu berawal dari pembicaraan santai, ringan, atau (katakanlah) ”omong kosong”. Prinsip itu dapat menggambarkan bagaimana proses pembentukan Budi Santoso Foundation (BSF).
Ketika itu, di bulan-bulan menjelang Oktober 2009, akhir masa jabatan sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) periode 2004-2009, Ir Budi Santoso mulai berpikir tentang kegiatan yang dapat bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat Jawa Tengah. Gagasan mendirikan lembaga pun muncul setelah dia berketetapan tidak mencalonkan lagi. ”Cukup satu periode saja saya menjadi anggota DPD RI,” katanya.
Bagi Pak Budi, begitu panggilan akrabnya, tidak mencalonkan diri sebagai anggota DPD RI bukan berarti selesainya pengabdian kepada masyarakat. Ia konsisten dengan slogan awal saat kampanye dulu: ”Siap Mengemban Tugas.” Pengalamannya selama lima tahun menyerap aspirasi berbagai lapisan masyarakat dan memperjuangkan kepentingan rakyat ke pemerintah (baik provinsi maupun pusat), akan lebih berarti kalau ”diterjemahkan” ke dalam kegiatan yang lebih nyata. Pandangan itu merupakan implementasi sikap hidupnya, yaitu ”sebanyak mungkin bermanfaat bagi sesama”.
Bagi dia, kehidupan sosial, relasi antarsesama manusia tidak kalah penting daripada kehidupan beragama, yang lebih mencerminkan relasi manusia dengan Tuhan dan bersifat pribadi. Perhatiannya kepada pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mendorong munculnya pemikiran untuk membentuk suatu lembaga yang fokus pada sektor tersebut. Hal itu wajar karena Pak Budi memang berpengalaman menangani UMKM; baik sebagai pendiri Gabungan Pelaksana Nasional (Gapensi) Jateng, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jateng (1983 - 1995), Ketua Dewan Pembina Kadin Jateng (1995 - sekarang), Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Jateng (1976 - 1983), maupun Wakil Ketua Umum Hipmi Pusat (1980 - 1983). Gagasan pendirian lembaga itulah yang kemudian berkembang melalui serangkaian ngobrol santai, yang diistilahkannya sebagai ”omong kosong”. Intinya, Pak Budi ingin tetap berkarya dan mengabdi untuk kemaslahatan masyarakat Jateng.
Lebih Konkret
Untuk merintis gagasan itu, 8 Februari 2010 dia mengundang kalangan akademisi, pengusaha, dan birokrasi, yaitu Ketua Kadin Jateng, Ir Solichedi, Kepala Balitbang Provinsi Jateng Drs Agus Suryono, MM, pengusaha Haryanto Halim, Ketua DPD REI Jateng Sudjadi, Rektor Unika Soegijapranata Prof Dr Ir Budi Widianarko, Rektor Untag Wijaya, SH, dan pengamat ekonomi Prof Dr FX Sugianto. ”Omong kosong” dilanjutkan ke arah pembahasan yang lebih konkret.
Tokoh-tokoh yang hadir saat itu melakukan tukar-menukar gagasan tentang nama, visi-misi, tujuan, dan program aksi lembaga. Diskusi berlangsung santai, segar, sesekali diselingi guyonan khas Pak Budi. Mengenai nama misalnya, ketika saya ajukan ”Budi Santoso Centre” disambut pelesetan, ”Lho, peteng ta, kok nggawa senter.” Begitu pula ketika saya ajukan ”Budi Santoso Syndicate” disambut dengan, ”Wah, kesannya malah seperti mafia.”
Pak Wijaya kemudian menengahi dengan mengatakan, ”Paling pas ya Budi Santoso Foundation, karena kita berharap lembaga ini adalah lembaga serius, terus ada dan berkembang sampai kapan pun.” Ungkapan itu pun ditanggapi dengan guyon Ngayogyakartanan. ”Bolehlah foundation, asal jangan diartikan foundation kosmetik, yang biasa dipakai wedhakan ibu-ibu,” katanya, disambut tawa peserta.
Prof Budi Widianarko menyambut baik ide pendirian yayasan itu, bahkan berharap agar lembaga ini tidak hanya berkiprah di Jateng, melainkan juga di tingkat nasional. Haryanto Halim menyoroti, selain fokus masalah ekonomi, idealnya BSF juga dapat memberi kontribusi di bidang budaya. Agus Suryanto dan Prof FX Sugianto melihat lembaga ini dapat bersinergi dengan pihak pemerintah dalam pengembangan perekonomian daerah, terutama sektor UMKM. Sudjadi, sesuai dengan posisinya sebagai Ketua Real Estat Indonesia (REI) Jateng, memberi masukan tentang kondisi perumahan rakyat yang masih perlu perhatian lebih. Diskusi itulah yang kemudian memunculkan kesepakatan nama: Budi Santoso Foundation - for social, culture, economic development.
Oleh sebab itu, BSF merangkul para tokoh dari berbagai latar belakang disiplin ilmu ke dalam wadah yang disebut ”Dewan Pakar”. Selain itu, BSF juga memasukkan beberapa lembaga ke dalam wadah ”Mitra Asosiasi” atau ”Associate Partner”. Keduanya bersifat ad hoc, sewaktu-waktu dapat diajak diskusi atau terlibat dalam program aksi. Dalam konteks yang lebih holistik, sinergitas itu dilandasi oleh semangat ”Jateng Incorporated”, suatu penyatuan dan kebersamaan untuk kemajuan masyarakat Jawa Tengah. ”Kita mulai dari yang kecil-kecil dulu, nanti pelan tapi pasti berkembang menjadi besar,” kata Pak Budi.
Doa disampaikan Prof Dr Abdul Djamil, MA (Rektor IAIN Walisongo) diawali dengan ”tausyiah” (yang oleh Prof Djamil disebut ”sekadar sharing”). Prof Djamil melihat, BSF dilandasi oleh kearifan lokal Jawa, yang memang sangat diperlukan saat ini untuk mengatasi gejolak zaman yang makin absurd. (Adi Ekopriyono-76)
27 Februari 2010
Di Balik Pendirian BSF
Sesuatu yang luar biasa tidak harus selalu diawali dengan pemikiran besar atau konsep yang muluk-muluk. Seringkali, justru itu berawal dari pembicaraan santai, ringan, atau (katakanlah) ”omong kosong”. Prinsip itu dapat menggambarkan bagaimana proses pembentukan Budi Santoso Foundation (BSF).
Ketika itu, di bulan-bulan menjelang Oktober 2009, akhir masa jabatan sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) periode 2004-2009, Ir Budi Santoso mulai berpikir tentang kegiatan yang dapat bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat Jawa Tengah. Gagasan mendirikan lembaga pun muncul setelah dia berketetapan tidak mencalonkan lagi. ”Cukup satu periode saja saya menjadi anggota DPD RI,” katanya.
Bagi Pak Budi, begitu panggilan akrabnya, tidak mencalonkan diri sebagai anggota DPD RI bukan berarti selesainya pengabdian kepada masyarakat. Ia konsisten dengan slogan awal saat kampanye dulu: ”Siap Mengemban Tugas.” Pengalamannya selama lima tahun menyerap aspirasi berbagai lapisan masyarakat dan memperjuangkan kepentingan rakyat ke pemerintah (baik provinsi maupun pusat), akan lebih berarti kalau ”diterjemahkan” ke dalam kegiatan yang lebih nyata. Pandangan itu merupakan implementasi sikap hidupnya, yaitu ”sebanyak mungkin bermanfaat bagi sesama”.
Bagi dia, kehidupan sosial, relasi antarsesama manusia tidak kalah penting daripada kehidupan beragama, yang lebih mencerminkan relasi manusia dengan Tuhan dan bersifat pribadi. Perhatiannya kepada pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mendorong munculnya pemikiran untuk membentuk suatu lembaga yang fokus pada sektor tersebut. Hal itu wajar karena Pak Budi memang berpengalaman menangani UMKM; baik sebagai pendiri Gabungan Pelaksana Nasional (Gapensi) Jateng, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jateng (1983 - 1995), Ketua Dewan Pembina Kadin Jateng (1995 - sekarang), Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Jateng (1976 - 1983), maupun Wakil Ketua Umum Hipmi Pusat (1980 - 1983). Gagasan pendirian lembaga itulah yang kemudian berkembang melalui serangkaian ngobrol santai, yang diistilahkannya sebagai ”omong kosong”. Intinya, Pak Budi ingin tetap berkarya dan mengabdi untuk kemaslahatan masyarakat Jateng.
Lebih Konkret
Untuk merintis gagasan itu, 8 Februari 2010 dia mengundang kalangan akademisi, pengusaha, dan birokrasi, yaitu Ketua Kadin Jateng, Ir Solichedi, Kepala Balitbang Provinsi Jateng Drs Agus Suryono, MM, pengusaha Haryanto Halim, Ketua DPD REI Jateng Sudjadi, Rektor Unika Soegijapranata Prof Dr Ir Budi Widianarko, Rektor Untag Wijaya, SH, dan pengamat ekonomi Prof Dr FX Sugianto. ”Omong kosong” dilanjutkan ke arah pembahasan yang lebih konkret.
Tokoh-tokoh yang hadir saat itu melakukan tukar-menukar gagasan tentang nama, visi-misi, tujuan, dan program aksi lembaga. Diskusi berlangsung santai, segar, sesekali diselingi guyonan khas Pak Budi. Mengenai nama misalnya, ketika saya ajukan ”Budi Santoso Centre” disambut pelesetan, ”Lho, peteng ta, kok nggawa senter.” Begitu pula ketika saya ajukan ”Budi Santoso Syndicate” disambut dengan, ”Wah, kesannya malah seperti mafia.”
Pak Wijaya kemudian menengahi dengan mengatakan, ”Paling pas ya Budi Santoso Foundation, karena kita berharap lembaga ini adalah lembaga serius, terus ada dan berkembang sampai kapan pun.” Ungkapan itu pun ditanggapi dengan guyon Ngayogyakartanan. ”Bolehlah foundation, asal jangan diartikan foundation kosmetik, yang biasa dipakai wedhakan ibu-ibu,” katanya, disambut tawa peserta.
Prof Budi Widianarko menyambut baik ide pendirian yayasan itu, bahkan berharap agar lembaga ini tidak hanya berkiprah di Jateng, melainkan juga di tingkat nasional. Haryanto Halim menyoroti, selain fokus masalah ekonomi, idealnya BSF juga dapat memberi kontribusi di bidang budaya. Agus Suryanto dan Prof FX Sugianto melihat lembaga ini dapat bersinergi dengan pihak pemerintah dalam pengembangan perekonomian daerah, terutama sektor UMKM. Sudjadi, sesuai dengan posisinya sebagai Ketua Real Estat Indonesia (REI) Jateng, memberi masukan tentang kondisi perumahan rakyat yang masih perlu perhatian lebih. Diskusi itulah yang kemudian memunculkan kesepakatan nama: Budi Santoso Foundation - for social, culture, economic development.
Oleh sebab itu, BSF merangkul para tokoh dari berbagai latar belakang disiplin ilmu ke dalam wadah yang disebut ”Dewan Pakar”. Selain itu, BSF juga memasukkan beberapa lembaga ke dalam wadah ”Mitra Asosiasi” atau ”Associate Partner”. Keduanya bersifat ad hoc, sewaktu-waktu dapat diajak diskusi atau terlibat dalam program aksi. Dalam konteks yang lebih holistik, sinergitas itu dilandasi oleh semangat ”Jateng Incorporated”, suatu penyatuan dan kebersamaan untuk kemajuan masyarakat Jawa Tengah. ”Kita mulai dari yang kecil-kecil dulu, nanti pelan tapi pasti berkembang menjadi besar,” kata Pak Budi.
Doa disampaikan Prof Dr Abdul Djamil, MA (Rektor IAIN Walisongo) diawali dengan ”tausyiah” (yang oleh Prof Djamil disebut ”sekadar sharing”). Prof Djamil melihat, BSF dilandasi oleh kearifan lokal Jawa, yang memang sangat diperlukan saat ini untuk mengatasi gejolak zaman yang makin absurd. (Adi Ekopriyono-76)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar