Februari 24, 2010

Dadang Tewas setelah Selamatkan Puluhan Orang



Berita Utama
25 Februari 2010

Bencana Longsor di Perkebunan Teh



Bencana menghampiri warga di sekitar perkebunan teh, di Kabupaten Bandung. Sedikitnya 16 korban ditemukan tewas, puluhan korban lainnya masih tertimbun. Korban selamat masih trauma.

TANAH longsor di Perkebunan Teh Dewata, Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung pada Selasa (22/2) berlangsung cepat. Bangunan rumah, pabrik, dan fasilitas umum hancur tertimbun longsoran.
Korban jiwa belum bisa dipastikan, tetapi sedikitnya 16 orang telah ditemukan tewas tertimbun. Puluhan lagi diperkirakan masih tertimbun dan hingga kemarin belum ditemukan.

Saat kejadian, sekitar pukul 08.20, sebagian warga yang baru memulai aktivitasnya tak menyadari kejadian tersebut. Bencana itu tidak memberikan kesempatan banyak warga untuk menyelamatkan diri. Longsor terjadi dua kali secara beruntun dengan rentang waktu yang berdekatan.

Sebenarnya, warga sudah berusaha lari. Pasalnya, gemuruh di longsoran pertama yang menghantam permukiman dan bangunan pabrik membuat kesigapan warga yang tinggal di permukiman itu terpompa.

Aliran darah terkesiap seketika. Seorang pria paruh baya, Ana, tinggal di afdeling yang terkena longsoran itu menceritakan, tetangganya, Dadang begitu mendengar suara keras langsung mendatangi Gedung Koperasi Karyawan.
Dia bermaksud memberitahu puluhan orang yang berada di dalamnya segera keluar. Tetangganya pun langsung berhamburan menyelamatkan diri.

Dadang sendiri segera beranjak ke pulang untuk membawa keluar anaknya. “Belum sempat keluar, longsoran kedua terjadi dan memerangkap keduanya, nasibnya belum diketahui karena masih tertimbun,” katanya sambil mengangkut perabotan rumahnya yang bisa diselamatkan.

Meski selamat, Ana tampak trauma. Kejadian longsor yang baru pertama kali melanda tempat tinggalnya telah menghilangkan hasratnya menempati kawasan yang mewarnai kehidupannya sebagai pekerja perkebunan.

“Tidak mau, takut terulang,” katanya. Lain Ana lain Sohibin (54). Dia telah berupaya mencegah dampak longsoran yang lebih besar. Sehari sebelum kejadian, dia curiga karena aliran dari mata air yang selama ini digunakan warga berwarna keruh. Dia pun mengecek ke arah puncak Gunung Tilu. Air itu tetap berwarna keruh. “Takutnya ada longsor,” tuturnya.

Dia pun menanyakan kepada perambah hutan dari daerah lain yang sering melintas di kawasan mata air. Kembali dia bertanya, apa ada longsoran di puncak.

Pertanyaan penuh kecurigaan itu dilayangkan tanpa bosan. Pasalnya, kondisi itu di luar kebiasaan. Karena belum yakin, dia melaporkan temuan tersebut kepada mandor dan administratur perkebunan. Dia meminta agar mata air yang keruh dicek untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Bila terjadi longsor ia menduga bisa mengancam permukiman di bawahnya.

Pengecekan dilakukan kedua orang itu pada Selasa pagi sekitar pukul 07.00. Hanya saja, mereka tak menemukan kejanggalan. Saat turun, tanpa diduga, longsor terjadi. Gerakan tanah itu terjadi dua kali dan brelangsung sangat cepat.

“Longsor pertama tak seberapa, tapi longsor yang kedua benar-benar luar biasa. Kemungkinan karena mata air itu jebol hingga membawa tanah longsoran. Benar-benar tidak terbayangkan,” katanya.

Akibat peristiwa itu, tiga keponakan Suhibin hilang. Ketiganya yakni Weni, Yeni, dan Isni. Sementara adik iparnya, Jajang ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa. “Sudah diambil keluarganya untuk dimakamkan,” katanya dengan tatapan layu. Air yang mengalir dari mata air tampak menggenangi jalan menuju lokasi longsor. Begitu deras. Sementara tumpukan material terlihat lunak.

Puluhan rumah tertimbun bersama penghuninya. Keberadaan aliran mata air nyaris ditemui dalam setiap peristiwa longsor. Kemungkinan tersumbat, sementara ada lapisan kedap air yang berada di bawah lapisan tanah membuat keseimbangan bukit menjadi labil dan menghadirkan peristiwa maut. Menurut Tim PVMBG, Gede Suantika, akumulasi air menyebabkan ikatan tanah menjadi renggang. Demikian pula peristiwa di Tenjolaya.

“Akibatnya, pergerakan tanah menjadi mudah lepas, longsor. Apalagi ini perbukitan terjal,” tandasnya. Alarm alam sudah berbunyi, tapi kadang manusia tidak segera cepat menangkapknya. Dibutuhkan ikhtiar bersama agar musibah serupa tak terulang. (Dwi Setiady-60)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar