Berita Utama
20 Februari 2010
Pro-Kontra Taman Nasional Gunung Merbabu (1)
Petani Anggap Ladang sebagai Tanah Warisan
Sejak 4 Mei 2004, status kawasan hutan lindung dan cagar alam di Gunung Merbabu diubah menjadi Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGM).
Perubahan status itu memicu reaksi beragam di kalangan masyarakat, terutama masyarakat sekitar, yang hidupnya bergantung hasil hutan
di kawasan itu. Berikut laporannya.
NARYO, (52) warga Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Boyolali tidak tertarik membicarakan perubahan status kawasan hutan Gunung Merbabu. Ketika diajak bicara soal itu, dia terkesan menghindar. Petani itu enggan membicarakan hal-hal yang tidak dimengerti dan dianggap tidak bermanfaat baginya.
Yang penting bagi dia adalah tetap bisa mencari rumput untuk pakan ternaknya di kawasan hutan tersebut. Artinya, kalau perubahan status diikuti pelarangan semua kegiatan di hutan, dia akan menentang.
”Selama ini, kami sudah terbiasa masuk keluar hutan untuk mencari rumput. Belum lagi mencari ranting kayu kering untuk bahan bakar. Masak sekarang mau dilarang?” katanya.
Belum lagi kekhawatiran terhadap kemungkinan pelarangan mengolah ladang yang dekat dengan kawasan hutan. Ia mengaku memiliki dua bidang ladang di lahan yang berbatasan langsung dengan hutan. Ladang tersebut sudah dikerjakan sejak kakeknya.
Kini, ladang itu diwariskan kepadanya. ”Yang jelas, ladang itu milik keluarga kami yang diwarisi turun-temurun.”Sikap Naryo bukan tidak beralasan. Selama ini penetapan kawasan konservasi tidak melibatkan masyarakat secara optimal, sehingga mereka sering menjadi korban dan dirugikan. Pemerintah lebih mengutamakan kepentingan berdalih ekologi ketimbang masyarakat sekitar yang sebagian besar warga miskin.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyayangkan tindakan Pemerintah menetapkan Merapi-Merbabu sebagai kawasan Taman Nasional tanpa melalui proses konsultasi dengan rakyat. ”Kami melihat selama ini pemerintah gagal mengelola 41 taman nasional yang ada di Indonesia. Terbukti banyaknya konflik yang terjadi di kawasan taman nasional hingga permasalahan penebangan liar yang belum mampu diatasi oleh pemerintah,” kata Ade Fadli, aktivis Wahli.
Seharusnya, menurut dia, dalam penetapan status sebuah kawasan, pemerintah harus melakukan beberapa kali tahapan konsultasi dengan rakyat yang akan terkena dampak kebijakan itu.
Konservasi di Indonesia sangat kuat dipengaruhi oleh paham konservasi alam klasik (Gray, 1991:56). Paham itu sejalan dengan ekofasis yang menganggap konservasi lingkungan sebagai jauh lebih penting dari kehidupan rakyat, khususnya rakyat miskin.
Mereka menganggap tidak dapat dielakkan kalau rakyat harus dipindahkan dari daerah-daerah yang terancam rusak, apakah itu hutan-hutan tropis, kawasan lindung untuk berburu, atau zona-zona peresapan air (Dietz,1998:22).
Studi Potensi
Pembentukan TNGM berdasarkan hasil kajian studi potensi Gunung Merbabu yang telah dilakukan oleh PUSPICS Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada yang dikaji lebih lanjut oleh Tim Terpadu Departemen Kehutanan.
Tim tersebut merekomendasikan kepada Menteri Kehutanan untuk mengubah fungsi hutan lindung dan cagar alam di Gunung Merbabu seluas 5.725 hektare menjadi TNGM melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004 tanggal 4 Mei 2004. Kawasan itu sebelumnya merupakan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani dan Taman Wisata Alam (TWA) Tuk Songo, sebagai salah satu kawasan konservasi di bawah pengelolaan Balai KSDA Jawa Tengah.
Taman nasional itu berada di kawasan hutan negara di Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Kabupaten Semarang. Gunung Merbabu mempunyai ketinggian di atas 2.000 m dpl dengan kemiringan lereng lebih dari 40 derajad.
Kawasan itu memiliki tiga tipe hutan, hutan pegunungan bawah (1.000 -1.500 m dpl) ditumbuhi oleh vegasi jenis hutan sekunder dengan jenis pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima noronhae) dan bintuni.
Tipe hutan pegunungan atas (1.500 ñ 2.400 m dpl), ditumbuhi jenis-jenis akasia (Acacia decurens), puspa (Schima noronhae), sengon gunung (Albizia falcataria), sowo (Engelhardia serrata), cemara gunung (Casuarina Montana), pasang (Quercus sp), dan tanganan. Tipe hutan pegunungan Sub-Alpin (2.400 ñ 3.142 m dpl).
Berdasarkan kajian itu, Gunung Merbabu memiliki berbagai macam potensi dan kekhasan flora-fauna yang harus dilestarikan, yakni tanaman pinus, puspa, bintamin, akasia decuren dan beberapa jenis perdu, adas, eldeweis serta tanaman efifit.
Potensi fauna berupa elang hitam (Ichtnaetus malayanesis), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung hitam (Tracypithecus auratus), kijang (Muntiacus muntjak), musang (Herpates javanica), macan tutul (Panthera pardus), landak (Histrix sp), luwak (Paradoxunus hermaproditus) dan beberapa jenis burung seperti kutilang (Pynonotus aurigaster), pentet (Lavinus eshach), sepah gunung (Pericrotus leuchopaeus) dan puter.
Pengawasan Longgar
Bagaimana kondisi hutan pinus dan cemara? Naryo menggelengkan kepala. ”Kalau masalah itu, terus terang saya tidak tahu. Namun kalau ada warga yang mencari ranting kering untuk dibawa pulang memang ada. Saya pun melakukannya untuk digunakan sebagai kayu bakar. Hanya saja, setelah ada bantuan kompos gas, pemakaian kayu agak berkurang.”
Pendapat Naryo dibenarkan Suwondo, Kaur Keuangan Desa Lencoh, Kecamatan Selo. Ditemui di balai desa setempat, Jumat (19/2), dia mengakui sebenarnya sudah mengetahui pengalihan status tersebut. Bahkan, para pamong desa di seluruh wilayah Kecamatan Selo dan tokoh masyarakat pernah mendapatkan penjelasan atau sosialisasi dari Balai Taman Nasional Gunung Merbabu (BTNGM) Boyolali. ”Ya, pernah ada sosialisasi dua kali. Namun belum sampai ke masyarakat secara keseluruhan.”
Dijelaskan, dalam pertemuan tersebut dirinya bertanya sinis kepada pembicara. Yaitu, menyangkut pengawasan seluruh kawasan hutan mengingat beberapa waktu terakhir terlihat gejala semakin meningkatnya perusakan hutan serta pencurian kayu secara gelap.
Warga nekat menebang pohon untuk dijual sebagai kayu bakar. Harga kayu bakar mencapai Rp 15.000- Rp 20.000/ikat. Permintaan kayu bakar tetap tinggi meskipun sudah ada program konversi minyak tanah ke gas. Sebagian warga tetap menggunakan kayu bakar untuk memasak dan hanya sesekali memakai kompor gas.
”Saya tanyakan masalah itu dengan maksud jangan sampai dana yang dikeluarkan pemerintah ratusan juta rupiah menjadi muspra (sia-sia-Red).”
Ditanya tentang kerusakan hutan, dia mengakui belum mengecek langsung ke wilayah hutan yang rusak. ”Saya hanya melihat dari kejauhan, kok lokasi yang dulunya masih rimbun pepohonan, kini menjadi terlihat tanahnya dengan jelas. Itu artinya pohon-pohonnya telah ditebangi. Saya juga beberapa kali berpapasan dengan warga yang memikul kayu dari hutan. La iya, kok sekarang pengawasan hutan malah kendur.”
Bagaimana usulan terbaik? Suwondo mengungkapkan, yang paling penting adalah membangun kesadaran masyarakat untuk turut menjaga kelestarian hutan. Tidak asal melarang penebangan tanpa memberi solusi.
Masyarakat bisa dilibatkan menjaga hutan dengan imbalan bisa turut memanfaatkan sebagian hutan. Bila perlu diberi bantuan ternak atau pelatihan ketrampilan secara menyeluruh. ”Pihak Taman Nasional juga harus meningkatkan pengawasan hutan, termasuk patroli rutin.”
Pendapat berbeda dikemukakan Hadi (58) warga Desa Jrakah, Kecamatan Selo. Dia mengaku, kawasan hutan Merbabu yang berbatasan dengan desanya kini lebih terjamin. Hal itu tak lepas dari perhatian BTNGM yang membantu masyarakat sekitar kawasan hutan.
”Warga diberi pelatihan cara pembuatan pakan ternak serta bantuan alat musik dan tari. Warga tidak keberatan diminta turut menjaga kelestarian hutan.”
Apa yang diungkapkan Hadi, diperkuat oleh Kades Jrakah, Tumar. Saat mendatangi Kantor Pemasaran Suara Merdeka, Tumar mengakui peranan BTNGM dalam memperhatian warganya nampak lebih baik. Berbagai bantuan diberikan kepada warganya dengan maksud agar warga tidak merusak hutan.
”Kini bisa dilihat, tegakan pohon cemara gunung di Hutan Merbabu yang berbatasan dengan Desa Jrakah terpelihara dengan baik. Kondisinya berbeda dengan Hutan Merapi yang rusak.”
Mekipun demikian, ada persoalan yang masih mengganjal hingga kini. Pertama, harapan masyarakat untuk mendapatkan bantuan ternak belum terealisasi hingga sekarang. Padahal, warga sangat berharap mendapatkan bantuan ternak sapi atau kambing untuk menopang kehidupan mereka. Bantuan yang diterima baru sebatas alat musik dan pelatihan pembuatan pakan ternak murah.
Masalah kedua, status sejumlah bidang ladang yang digarap warga turun-temurun. Ladang berdampingan dengan kawasan hutan tersebut digarap sejak masa penjajahan Belanda. Namun, pihak Perhutani kemudian menanam sejumlah pohon tegakan seperti cemara gunung, puspa dan akasia. Warga khawatir sewaktu-waktu dilarang menggarap ladang itu.
”Memang hingga sekarang tidak ada masalah, warga tetap menggarap ladang dan tegakan pohon tetap terpelihara baik.” (Joko Murdowo, Sholahuddin al-Ahmed-60)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar